Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Cerpen Cinta dan Mimpi Dari Tanah Pasagi #3

Cerpen Cinta dan Mimpi Dari Tanah Pasagi #3

Adzan Shubuh belum berkumandang, namun orang-orang diluar terdengar ramai tengah membicarakan sesuatu. Bersemangat sekali, tapi diliputi rasa khawatir yang amat sangat. 

Aku belum membuka mata sepenuhnya. Tak jelas apa yang dibicarakan orang-orang diluar rumah jam segini. Aku memaksakan menengok jam tua yang ada di meja belajarku. Hah, ini masih jam 02.10. Aku mengucek mataku, seakan tak percaya. 

Pintu depan rumah terbuka, sepertinya Bapak yang membuka. 

"Ada apa mang, malam-malam gini sudah ribut? Ada yang meninggal?" Terdengar suara Bapak bertanya pada orang-orang yang sedang sibuk membicarakan sesuatu. 

"Bukan mang. Itu jembatan Cipandak roboh." Terdengar salah seorang menjawab pertanyaan Bapak. 

Aku kaget mendengar jawaban dari orang-orang diluar rumah. Apa aku tak salah dengar? Jembatan Cipandak roboh? Bagaimana aku besok berangkat ke sekolah kalau tidak melewati jembatan itu? Menyebrang sungai? Aduh, jembatan roboh juga karena arus sungai yang terlalu deras. 

Aku bergegas mengambil handphone, lalu mendekati jendela agar dapat mengirim sinyal dengan baik. 

"Pit, kamu udah bangun belum? Jembatan Cipandak roboh." Itu pesan singkat yang aku kirimkan ke Pitri. Aku mengirimkan pesan yang sama ke Heti. Tapi tidak ada jawaban dari mereka berdua. Kulihat status pesan terkirim, masih ceklis satu. Itu tandanya pesan belum benar-benar terkirim. 

"Kamu juga ikut bangun, Nak?" Mama sedikit mengagetkanku dari belakang. Tanpa aku jawab, Mama sudah melanjutkan pembicaraannya. 

"Kasihan Bapakmu, Tik. Besok tidak bisa kerja, karena tidak bisa melewati jembatan."

"Memang besok Bapak mau ngapain melewati jembatan?" Aku bertanya serius ke Mama. 

"Bapakmu kan sedang ikut kerja membawa padi untuk dikirim ke desa sebelah. Kalau bukan melewati jalan kesana, ya jalan mana lagi. Ada juga harus melewati jalan Cisireum, gak mungkin Bapak muter-muter kesana. Jaraknya sangat jauh. Kasihan Bapak."

Aku mengiyakan perkataan Mama. Benar, kasihan juga Bapak. Kemungkinan Bapak tidak bisa. Dan pemilik padi juga kemungkinan menyuruh orang lain untuk mengangkut padi dengan mobil bak. 

Tanpa memperpanjang pembicaraan, aku masuk kamar kembali. Suara obrolan diluar rumah pun juga semakin berkurang. Setelah cukup lama, terdengar Bapak membuka pintu lalu masuk rumah. 

Entah apa yang dibicarakan antara Mama dan Bapak, yang pasti obrolannya sangat serius. Semoga ada jalan terbaik untuk Bapak. Aku berdoa dalam hati. 

***

Esoknya, aku berangkat ke sekolah lebih awal dari biasanya. Jika biasanya Pitri dan Heti lebih cepat sampai di rumahku, kini giliran aku yang yang menunggu mereka. 

Tak sampai menunggu hingga sepuluh menit, mereka berdua akhirnya datang juga. 

"Kalian lama banget sih, aku udah dari tadi nunggu. Siang nih." Ku sambut mereka berdua dengan omelan. 

"Hey hey hey, siapa yang telat. Biasanya juga jam segini." Pitri langsung sewot menjawab pertanyaanku. 

"Pesan kamu baru aku buka jam 04.00, Tik. Maaf nggak bales." Heti menyambung pembicaraan kami. 

Kami bertiga mulai melangkahkan kaki. Aku pamit sama Mama yang tampaknya masih sangat kebingungan memikirkan tentang nasib Bapak. 

Sebetulnya, kami tidak yakin bisa sampai di sekolah dengan lancar. Bagaimana bisa ke sekolah selain melewati jembatan itu. Tapi setidaknya kami sudah berusaha dan membuktikan kepada bapak/ibu guru kami di sekolah jika suatu saat kami ditanyai mereka mengapa bolos alias tidak masuk sekolah. 

Kami berjalan lebih cepat dari biasanya. Langkah Heti sepertinya yang paling cepat diantara kami. 

"Nggak gitu juga kali jalannya, Hetiii. Kayak yang takut terlambat upacara aja." Pitri mengejek Heti yang jalannya lebih cepat diantara kami berdua. 

Aku menambah omelan Pitri kepada Heti, "Iya nih, paling juga kamu mah pengen cepet-cepet selfi lalu upload di medsos. 

Heti tidak merespon ejekan kami, ia fokus aja jalan ke depan. 

Terlihat warga juga banyak yang berjalan kaki menuju jembatan. Ada yang hendak bekerja di sawah dekat jembatan. Namun tak sedikit juga yang hanya penasaran keadaan jembatan yang roboh. Nampak juga pak Lurah bersama dengan stafnya menaiki motor, pasti ingin memantau secara langsung situasi dan kondisi sebenarnya. 

Setibanya di lokasi,  banyak sekali warga yang sudah berdatangan dari kedua desa. Seakan tak percaya. Kami melihat jembatan yang megah, kini sudah tak ada rupa. Hanya tinggal reruntuhannya, dan bahkan sebagian material sudah berada di dasar sungai, dan sebagian lagi terbawa arus sungai yang sangat deras. 

Heti si jago selfi juga tak terlalu ceria saat melihat kenyataan yang ada. Ia hanya memotret beberapa gambar saja, lalu memasukkannya lagi kedalam tas. Pitri juga demikian. Bahkan semua orang yang hadir di tempat ini. 

Aku salah mengira, bahwa jembatan Cipandak ini megah dan kokoh bisa bertahan hingga setengah abad. Tapi nyatanya tidak, ternyata nggak ada hubungan berarti antara tingkat kemegahan dengan kekokohan suatu jembatan. Terutama jembatan Cipandak ini. Bagaimana bisa jembatan yang belum lama ini dibangun, bisa hancur lebur oleh derasnya air sungai. Apa iya, hujan deras yang harus disalahkan? 

Teka-teki dalam hatiku buyar, saat ada yang memanggil kami dari arah kiri. 

"Ayuk, siapa yang mau ikut?" Nampaknya itu suara Bangbang bersama motornya yang keren. 

Dari kami bertiga tidak ada yang jawab. 

"Kita nggak mungkin bisa lewat jalan ini. Jembatan darurat pun baru akan dibuat warga esok hari." Sambungnya. 

Kulihat Pitri hanya memalingkan muka, not responding. Dalam hatiku berkata, kalau ia menyebut namaku saja yang boleh ikut, aku pasti akan menjawab mantap. ini kesempatan yang sangat langka. Satu semester sekali pun belum tentu. Apakah aku saja yang akan menawarkan diri? Lalu bagaimana dengan kedua sahabatku? Ah, hatiku berkecamuk dan tiba-tiba mulutku terkunci saat hendak menjawab dengan kata "Tika aja yang ikut".

Dan, sebelum aku mencurigai Heti yang akan ikut, ia malah dengan polosnya menerima ajakan Bangbang. Ia mengacungkan tangannya, seakan ditanyai oleh guru di dalam kelas. 

"Bang, aku aja yang ikut yah. Soalnya kakiku dah pegel nih." Sambil cengengesan, ia menghampiri motornya Bangbang. 

"Ah, alesan aja tuh si Heti. Mana ada dia yang paling pegel. Kita semua jalan kaki sama kok. Huuuh." Seperti biasa, Pitri mengejeknya kalau ada yang tidak sependapat dengan Heti. 

Aku pura-pura tenang. Aku menjaga dari mereka berdua, agar tidak kelihatan bahwa sebenarnya akulah yang paling berharap ikut dengannya. Aku segera mengkondisikan raut wajahku dan terutama hatiku yang tidak karuan. 

"Eh, tolong titip aja pesan pada guru piket ya, Ti. Bisa jadi kami tak bisa sampai ke sekolah. Tolong ijinkan. Awas kalau aku dan Pitri jadi Alpa." Aku mengingatkan Heti.

Pitri mengiyakan apa yang aku katakan, sambil mengepalkan tangan dan mengarahkannya ke Heti.

Tak ingin berdebat panjang, Bangbang meninggalkan kami berdua. Nampaknya, Heti bahagia sekali hari ini.

Aku berdiskusi dengan Pitri. Bagaimana baiknya. Lanjut atau tidak. Kemungkinan kami tak hadir hari ini. Tak mungkin kami dapat tumpangan gratis seperti Heti. Teman-teman kami yang bawa kendaraan bermotor biasanya sudah punya teman boncengannya sendiri. Dan kami tak mungkin untuk naik ojek. Pasti lah mahal ongkosnya, muter lagi ke jalur Cisireum. 

Kami memutuskan balik lagi ke rumah, berharap guru kami memakluminya. 

Selama perjalanan balik ke rumah, aku tidak bersemangat. Memang, selain aku sudah terbangun pukul 02.10 juga ditambah kehilangan kesempatan bisa berboncengan dengan seseorang yang aku kagumi. Malah Heti, sahabatku yang mengambil kesempatan itu. Tapi itu bukan kesalahan ia. Hanya aku yang tidak berani, takut, dan lebih memikirkan kedua sahabatku. Dengan kejadian ini, aku jadi lebih yakin bahwa Bangbang-lah orang yang disukai oleh Heti.

Benar saja, semenjak hari itu Heti semakin dekat dengan Bangbang. Mereka tak canggung lagi bercanda. Seperti ada hubungan yang serius diantara mereka. Namun, demi menjaga persahabatan, aku tak pernah sekali pun bertanya lagi tentang kisah asmara Heti setelah curhat pertama kali saat memetik pucuk paku di sawah itu. 

Aku mengikhlaskannya mulai saat ini. Aku lebih memilih menjaga sahabatku daripada egoku sendiri. Selamat ya Heti, aku mengobrol dengan hatiku sendiri.

"Wooyy, kenapa kamu Tik?" TIba-tiba Pitri menepuk pundakku. 

Aku menjawab dengan datar, "Aku cape lah, Pit."

Terlihat beberapa warga mengendarai motornya yang bising sambil membawa peralatan untuk membuat jembatan darurat untuk esok hari. Aku yakin besok pun masih belum bisa ke sekolah, mungkin lusa jembatan darurat sudah mulai bisa dilewati.

Tak ada pembicaraan lain yang berarti selama perjalanan kami pulang.

(Bersambung ke Part#4)


Post a Comment for "Cerpen Cinta dan Mimpi Dari Tanah Pasagi #3"