Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Cerpen Cinta dan Mimpi Dari Tanah Pasagi Part 2

cerpen tentang cinta di desa kampung


Pasagi adalah kampung kecil tempat kelahiranku. Ini bukan nama desa, hanya nama kampung saja. Namun, kebanyakan orang lain diluar daerah kami sering beranggapan bahwa nama Pasagi mencakup seluruh wilayah kami yang berada diperbukitan. Aku sendiri yang benar-benar lahir dari sini juga tidak mengetahui secara pasti bagaimana sejarah munculnya kampung ini. Kampung yang muncul di dataran yang cukup tinggi ini, aku kira merupakan hal yang luar biasa yang pernah dilakukan oleh nenek buyut kami zaman dahulu. Aku belum pernah mendengar cerita, bahwa kampung kami pernah dimasuki oleh gerombolan penjajah Belanda. Ada tiga jalur jalan yang menghubungkan kampung kami menuju kampung lainnya, tepatnya penghubung desa, termasuk jalan yang setiap hari aku lalui untuk berangkat ke sekolah. 

Hari ini adalah hari Ahad, dengan begitu sekolah berarti libur. Namun, bukan berarti aku libur dari aktivitas di rumah. Semua pekerjaan rumahan, semua aku bereskan. Mulai dari nyapu di dalam hingga di halaman rumah. Tetapi, Aku tidak mengepel lantai hari libur ini. Lagian, tak seperti lantai ubin yang harus sering dibersihkan setiap saat. Bersyukur juga punya rumah panggung, jadi tak perlu ngepel lantai tiap hari. Aku bergumam dalam hati, sambil berharap suatu saat nanti rumahku juga sama seperti rumah tetangga yang lain, kokoh, rapi, juga sedap dipandang mata.

Aku mengerjakan tugas rumahan benar-benar sendirian hari ini, karena Mama sudah pergi setelah sholat Shubuh tadi. Mama bilang ada tetangga yang akan panen padi di balik bukit kampung ini, jaraknya lumayan jauh. Mama diminta membantu. Lumayan lah, bisa tambah-tambah buat makan upahnya. Ucap Mama yang tak pernah mengeluh. Mama berpesan sebelum pergi, katanya ambil siput di sawah kita. Biar nanti Mama pulang, bisa dimasak untuk makan sore. Aku meng-iyakan dengan mantap. Di kampung kami, siput lebih nyaman disebut tutut. Rasanya mantap sekali, bisa dibikin sate juga. Sate Tutut. 

Sebelum berangkat, Aku kepikiran mengajak Heti, sahabatku yang terkadang bertingkah agak sedikit konyol itu. Aku coba mengambil handphone jadulku yang disimpan dekat jendela. Kesal sekali saat ku tengok layarnya tak ada satu garis pun tanda sinyal muncul. Padahal semenjak dari tadi kusimpan selalu dekat kaca jendela. Tempat dekat jendala itulah sinyal terbaik yang ada di rumahku. Maklum, kampung kami darurat jaringan, jangan tanya bagaimana kualitas kecepatan internet bagus atau tidak. Menunggu loading satu pekan pun tidak akan bakalan kelar.

Tanpa berpikir panjang, Aku langsung saja pergi. Nanti, akan Aku jemput langsung ke rumahnya saja. Semoga ia ada di rumahnya, tidak sedang sibuk. 

Butuh waktu sekitar 7 menit berjalan cepat untuk sampai ke rumah Heti. 

"Heti... Hetiii... " Aku memanggil Heti sambil ku ketuk pintu depan rumahnya. 

Tak perlu memanggil tiga kali, ia sudah nongol. Pakaiannya tampak basah, terlihat sisa-sisa sabun detergen menempel pada kedua tangannya. 

"Mau ikut nggak?" Aku bertanya singkat. 

"Pasti ngajak aku ke sawah lagi ya. Ya kaan?"

"Yaudah kamu duluan aja, Tik. Nanti aku nyusul." Jawabnya mantap. Dia amat yakin, bahwa aku akan mengajaknya ke sawah. Iya lah, emang bukan sekali saja ia ikut aku. 

Heti ini, selalu pengin ikut saja kemanapun aku pergi. Karena memang sebenarnya, ia aslinya bukan lahir dari kampung Pasagi. Belum genap dua tahun, ia tinggal di kampung ini. Ia aslinya dari kampung Cibeureum, tetangga desa sebelah. Pindah rumah ke kampung ini, karena ikut ibunya. Aku tak banyak tahu kisah hidup tentangnya, bagaimana kehidupan orangtuanya sehingga bisa pindah kesini, yang jelas aku mengenalnya sebagai sahabat terbaikku, selain Pitri. 

Tanpa basi-basi, aku pun pergi. Langkah demi langkah, akhirnya tiba di saung sawah milik Mama. Kulihat tutut melimpah di pinggiran sawah. Aku sangat bersemangat mengambilnya satu per satu. Aku meyakinkan tidak ada satu pun tutut yang bergelantungan di helaian daun padi. 

Tak ada angin, pula tak ada hujan, Heti mengagetkanku dari belakang. 

Sambil menepuk pundakku, ia berkata, "Rajin amat nih anaknya Mama. Takut kena semprot lagi ya, kalau ternyata tutut nya masih banyak yang belum diambil."

"Udahlah jangan dibahas  lagi!" Aku jawab ketus. 

Memang, dulu pernah aku membuat Mama marah. Saat disuruh memungut tutut di sawah yang sama, malah mengambil tumbuhan paku untuk disayur. Aku bilang, ini juga makanan, Ma. Sama-sama dapat dimasak, kenapa harus marah. 

Mama langsung mengomel. "Bukan masalah bisa dimasak atau tidaknya, Tikaa. Tapi masalah amanah yang diberikan Mama. Kamu tahu nggak, itu tutut kalau tidak segera dipungut nanti bisa semakin banyak. Dan itu artinya padi kita bisa juga habis dimakan olehnya."

Aku tertegun, menundukkan kepala saat Mama menceramahiku. Setelah kejadian itu, aku tidak ingin pernah lagi mengabaikan amanah terutama amanah dari Mama dan juga Bapak. 

Setelah dirasa cukup, aku segera membersihkan kaki yang dipenuhi lumpur sawah. Tanpa dikomando, Heti sudah bergegas angkat kaki menuju tempat biasa, yaitu untuk mengambil pucuk tumbuhan paku untuk disayur. Entah sudah berapa ratus kali kami memasak pucuk paku, yang pasti rasanya tidak pernah membosankan. Ya, inilah sayuran kampung, yang tidak akan banyak ditemukan di daerah perkotaan. 

Aku dan Heti sudah melewati sungai kecil. Sesekali, Heti mengayunkan kakinya lalu memasukkan ke genangan air untuk membasuh sendalnya. Belum juga sampai ke tempat tujuan kami memetik pucuk paku, sepanjang perjalanan kantong kresek hitam kami sudah terisi setengahnya, karena banyak sekali pucuk paku yang bisa dipetik di pinggir jalan selama berjalan kaki. Kami sesekali berhenti pada batu besar, untuk sekedar duduk. 

"Tik, aku curhat boleh nggak?" Tanpa adanya basa-basi, Heti membuka pembicaraan yang cukup serius nampaknya. 

"Tik, kamu udah pernah suka sama seseorang belum?" Sambil malu-malu, ia menanyakan hal tersebut kepadaku. 

"Aciee, seorang Heti lagi jatuh cinta nih." Aku mengejeknya. 

"Ihhh, serius nih, Tikaa." Ia mulai menaikkan tensi pembicaraan ke hal yang lebih serius. Mungkin levelnya udah duarius. 

"Kalau aku sih ngga ada waktu untuk ngurus yang begituan, Ti. Kalau sekedar suka karena melihat lawan jenis ya wajar, tapi kalau sampai terbayang-bayang dan hingga mengungkapnya, aku belum pernah sih." Aku menjawab agak lebih serius, karena terbawa suasana hatinya Heti. 

"Emang kamu suka sama siapa?" Aku tanya ia balik.

"Ada sih, temen sekelas kita juga. Tapiii, ah aku tidak akan memberi tahu kamu, Tik. Pasti nanti kamu terus meledekku." Sepertinya, pikirannya Heti sudah mulai kacau. Ia tampak memikirkan seseorang yang disukainya itu. Tapi ia tak pernah menyebutkan namanya. Pun walau hanya inisialnya saja. 

"Katanya mau curhat, tapi giliran ditanya nggak menjawab. Kamu mah bukan curhat, malah bikin penasaran orang aja. Ah, dasar kamu mah Heti." Aku jawab kesal, sambil ku ayunkan kantong kresek hitam berisikan pucuk paku, dan hampir mengenai kepalanya. 

Sepanjang perjalanan, ia malah mulai menceritakan kekagumannya terhadap seseorang yang  disukai itu. Ciri-ciri dan karakternya. Tentu yang baik-baiknya. Lah iya, seseorang yang sedang jatuh cinta pasti yang diomongin bukan yang jeleknya. Namun ya begitulah saat ditanya siapa orangnya, ia tidak memberitahunya. Dasar si Heti. Aku memakinya dalam hati. 

Tak terasa, matahari sudah bergerak terus ke arah barat. Tanda batas tengah hari sudah mulai menjauh. Kami memutuskan untuk segera pulang. Tutut yang sudah dipungut tadi dari sawah, aku berikan separuhnya ke Heti sebagai tanda terimakasih sudah menemani waktu liburnya. 

Mama sudah ada di rumah, sejak aku tiba. Tanpa ada percakapan berarti dengan Mama, aku membersihkan diri. 

***

Menjelang tidur malam, mengapa tiba-tiba aku teringat percakapan tadi dengan Heti saat memetik pucuk paku. Kupaksa mataku ini dipejamkan kuat-kuat pun, tak mau tidur juga. Semakin malam, malah semakin terngiang-ngiang apa yang dibicarakan Heti. 

Siapa ya, seseorang yang ia sukai? Apakah mungkin Bangbang? Apa iya, Heti suka sama Bangbang? Tapi, kalau dilihat dari ciri-ciri yang disebutkan Heti. Memang benar, Bangbang adalah orangnya. 

Aku tak ingin mengambil keputusan secepat ini. Lagian, Bangbang ini siapa sih. Bukan siapa-siapa. Aku juga tidak ada waktu untuk memikirkan hal-hal yang tidak penting. Sama sekali tidak ada waktu. 

Suara cicak di ruang tengah rumah semakin jelas terdengar, seakan meninabobokan aku yang sudah larut tak mulai memejamkan mata. 

Namun tak terasa tiba-tiba hening. Aku tidak ingat apa-apa lagi. 

***

(Bersambung ke Part #3) 

Post a Comment for "Cerpen Cinta dan Mimpi Dari Tanah Pasagi Part 2"