Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Contoh Cerpen Tentang Cinta "Cinta dan Mimpi dari Tanah Pasagi" Part 4

cerpen cinta dan mimpi

Hari ini adalah hari Senin. Seperti biasanya, aku dan kedua sahabatku datang lebih pagi karena ada upacara hari bendera. Semenjak jembatan Cipandak roboh, sekarang kami melewati jembatan sementara yang terbuat dari bambu. Tak perlu lama membangun jembatan bambu ini, tapi untuk melewatinya resiko keselamatan kami dan warga lain benar-benar terancam. 

Pernah suatu saat ada warga yang mengendarai sepeda motor tergelincir karena saking beratnya beban yang diangkutnya. Kejadiannya tepat beberapa menit sebelum adzan Maghrib berkumandang. Sebagian barang bawaannya jatuh dan hanyut terbawa oleh arus sungai yang cukup deras. Untungnya, kaki tersangkut ke sela-sela bambu yang menjadi penghalang jembatan. Andai saja tidak, kami tidak tahu hal mengerikan apa yang akan terjadi selanjutnya. 

Setelah kejadian tersebut, semua orang yang melintas lebih berhati-hati. Terlebih kami yang setiap hari harus melewati jembatan bambu itu. Mama setiap hari sebelum berangkat sekolah, tak bosan-bosannya mengingatkan macam radio butut. 

Hari ini, aku benar-benar bersemangat sekali. Berbeda dengan Heti. Ya, karena hari ini ada tugas Bahasa Indonesia kesukaanku. Tampil di depan kelas menceritakan ide, cita-cita, dan harapan masing-masing. Heti, kebalikannya. Ia paling males kalau yang beginian. Bisanya juga dia mah main volly. Sedangkan bagi Pitri, ini bukan hal yang sulit. Secara, dia itu otaknya encer. Matematika saja yang rumit, dia main embat saja. 

Guruku memanggil kami satu persatu sesuai abjad. Tema kali ini yaitu Jika Aku Menjadi. 

Temanku yng berawalan huruf A, jelas dipanggil duluan. Aku urutan ke-5, karena namaku diawali dengan huruf C.

Aku melihat teman-temanku ada yang bercita-cita jadi pengusaha, ada yang menjadi petani sukses. Tak sedikit pula ada yang bercita-cita jadi guru. Bahkan ada yang kepikiran cita-cita menjadi sopir Ambulan. Saat ditanya oleh bu guru, ia dengan teduhnya menjawab agar selalu ingat mati. Seisi kelas kami kompak mengucapkan Maa Sya Allah. 

Sekarang tiba giliranku. Aku tak membawa kertas/buku, berbeda dengan teman lain tadi. 

Dan inilah cita-cita/harapanku.

Jika Aku Menjadi Kepala Desa. (Seisi kelas bahagia menertawanku) 

Selamat pagi kawan-kawanku semua. Perkenalkan nama saya Cantika. Biasa dipanggil dengan Tika. 

Jika aku menjadi kepala desa, akan aku sulap kampungku menjadi daerah wisata agar ekonomi warga kampung menjadi meningkat. 

Aku ingin sekali mengubah jalanan berbatu menjadi berlapiskan aspal hitam. Aku tak ingin seperti sekarang ini, kampungku harus maju. 

Aku berharap bisa mengubah tebing-tebing curam menjadi hiasan yang sedap dipandang mata. 

Hatiku sedih melihat jembatan kebanggaan kampungku, hancur dalam sekejap. Entah siapa yang perlu dipersalahkan. Yang pasti, saat ini aku berjuang tiap hari melewati jembatan bambu, yang kapan saja bisa merenggut nyawaku. 

Biarlah kami hidup di atas bukit yang entah kapan saja alam menggusurnya.

Namun kami berharap kekuatan cinta pada bumi pertiwi akan menjadi cengkraman kuat dan tak mudah untuk dihancurkan. 

Ini memang suatu hal yang konyol, tapi aku punya cita-cita dan harapan.

Aku ingin mengubah semuanya tentang kampungku. Pasagi yang selalu di hati. 

... 

Kawan-kawanku bersorak ramai, dan diakhiri dengan mengucapkan Aamiin, tanda mendoakan cita-citaku. 

Aku kembali duduk. Pitri lalu memukul pundakku sambil berbisik tak percaya, "Kamu mimpi, Tikaa? Katanya mau jadi reporter tv, eh malah berubah ingin jadi kepala desa." 

Ia terus mengejek sambil menertawakan cita-citaku. 

"Kamu emang bener-bener konyol, Tik. Heti tak mau kalah mengejekku. 

Aku jawab pertanyaan mereka hanya dengan senyuman. 

***

Selama perjalanan pulang, habis sudah mereka berdua tak henti menertawaiku. Sebenarnya, aku sendiri pun tak mengerti apa yang sudah diucapkan di depan kelas tadi. Aku berbicara hanya mengalir saja, sesuai yang aku jalani sekarang ini. 

Kami bertiga melewati jembatan berbahan bambu. Hati-hati sekali kami melewatinya. Bengong sedikit, taruhannya nyawa. 

Sesampainya di ujung jembatan, ada seseorang yang menunggu kami. Tepatnya menunggu Pitri. 

Tanpa basa-basi, ia mengajak Pitri untuk segera naik motornya. "Ayo, Pit. Cepet pulang.  Keluarga sudah menunggu kamu di rumah."

Terlihat Pitri kebingungan. Wajah yang tadinya sumringah, sempat mengejek menertawaiku seketika berubah penuh tanda tanya. 

Aku curiga dengan keadaan ayahnya Pitri. Kemarin lusa ia sempat bercerita tentang ayahnya yang sakit dan tak kunjung membaik. 

Pitri berpamitan kepada kami berdua. Lantas, ia meninggalkan kami di ujung jembatan ini. 

"Ada apa ya, Tik? Kok kayak yang darurat gitu. Sampai-sampai mesti dijemput. Biasanya juga kan jalan kaki, tidak masalah." Heti bertanya serius kepadaku, namuan tidak aku jawab selain dari menggelengkan kepala. 

Semoga tidak terjadi apa-apa ya, Pit. Aku mendoakannya dalam hatiku. 

Terlihat awan di sebelah utara semakin menghitam, tanda akan turun hujan. Kami mempercepat langkah agar tidak kehujanan di perjalanan. 

***

(Bersambung ke Part#5) 


Post a Comment for "Contoh Cerpen Tentang Cinta "Cinta dan Mimpi dari Tanah Pasagi" Part 4"