Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Cerpen Cinta dan Mimpi Dari Tanah Pasagi Part 1

 

Cinta dan Mimpi Dari Tanah Pasagi Part 1

Di suatu malam yang dingin, 

"Selamat Malam pemirsa dimanapun Anda berada, Saya sekarang tengah berada di area  jembatan yang menghubungkan kedua desa, yakni Desa Naringgul dan Desa Wanasari Kec. Naringgul Cianjur Jawa Barat. Namun, sayang sekali jembatan tersebut tidak bisa dilalui oleh warga semenjak kemarin malam, dikarenakan jembatannya putus akibat aliran sungai Cipandak yang sangat deras. Seperti yang pemirsa lihat di layar kaca Anda, di ujung jembatan sebelah sana, tanahnya tergerus oleh air sungai yang sangat deras sehingga tak kuat menahan jembatan yang sudah lama dibangun sejak 20 tahun silam ini. Dapat Anda bayangkan,  apabila air yang ...".

"Gudubrakkk... "

Aku mengaduh, serasa tubuh ini jatuh dari ketinggian. Dan benar saja,  ternyata Aku sudah berada di lantai jatuh dari tempat tidurku. 

"Tik... Tika... Tikaaa...?"

Dari balik pintu, Mama setengah berteriak memanggil namaku. "Ada apa? " Nampaknya Mama masih khawatir dengan suara yang muncul dari ruangan kamarku. 

"Nggak ada apa-apa, Ma." Jawabku. Tanpa harus membuka pintu kamar, Mama sudah balik lagi ke kamarnya. 

Aku duduk sejenak, masih bingung apa yang sebenarnya terjadi dengan diriku. Lah, tadi aku sedang melakukan siaran di perbatasan desa karena jembatan putus akibat aliran sungai yang deras. Aku memaki dalam hati, karena ternyata itu semua hanya mimpi. Ku tengok jam tua-ku diatas meja, jarumnya tengah menunjukkan angka 12.10. Aku bergegas naik ke tempat tidur, ku tarik selimutku secepat kilat. Aku harus segera memejamkan mata lagi, sebelum keinginan tidurku direnggut oleh suara burung hantu di pohon Kiara besar beberapa meter dari rumahku. Hening. Aku tak ingat apa-apa lagi. 

***

"Tadi malam kamu kenapa Tik?" Mama membuka pembicaraan saat kami sarapan pagi bersama. "Ak jatuh dari tempat tidur, Ma." Jawabku singkat.

"Pantesan aja suaranya kenceng banget, Mama kira lemari pakaianmu yang roboh, khawatir menimpa kamu." Mama tertawa meledekku. 

"Makanya kalau mau tidur baca doa dulu, biar tidurnya nyenyak. Masa iya, udah gede gitu masih aja terguling dari tempat tidur." Sambung Mama yang terus tertawa. 

Hampir aku jawab, biar obrolannya cepat selesai, keburu Bapa menyudahi sarapan paginya. Bapak bergegas ke kamar mandi hendak cuci tangan, dan langsung pergi setelah mengucapkan salam kepada kami.

Bapakku berbeda dengan Mama, pendiam tidak banyak bicara. Tapi tegas dalam mendidik anak-anaknya termasuk Aku. Bisa dibilang Bapak itu keras tapi penyayang. Pernah suatu saat, Bapak marah kepadaku karena Aku tidak mau mengaji ke Masjid dengan alasan cape karena banyak kegiatan di sekolah. Namun, Bapak juga pernah sangat khawatir saat Aku tak juga sampai ke rumah hingga petang karena Aku terjebak longsor saat pulang dari sekolah. Aku menunggu seorang diri, lalu Bapak muncul sambil memegang daun pisang menjaga tubuhnya agar tidak terlalu basah kuyup akibat guyuran air hujan. Bapak memelukku dengan erat. 

"Kamu ngga apa-apa, Nak?" Bapak bertanya kepadaku. Sebelum Aku jawab, Bapak sudah memegang tanganku mengajak agar segera balik ke rumah. Tanpa berkata-kata sepanjang perjalanan, Aku melihat dari sudut mataku bahwa mata Bapak berkaca-kaca. Dalam hati Aku berkata, Aku sayang Bapak. 

Kejadian itu sudah sangat lama sekali. Yaitu saat Aku kelas 5 SD. Dan sekarang, Aku sudah kelas sebelas Sekolah Menengah Atas. 

Bayanganku terhenti, setelah ada yang memanggilku dari luar rumah. Rupanya dua sahabat Aku yang sudah siap berpetualang hari ini. Berpetualang berangkat sekolah maksudnya. Maklum, kami sebut petualangan karena jarak antara rumah kami dengan sekolah cukup jauh. Selalu ada cerita saat kami pergi ataupun pulang sekolah. 

Cukup bilang "sebentar", suara panggilan dari kedua sahabatku berhenti. Setelah selesai sarapan, aku berpamitan kepada Mama.

"Jangan lupa bawa payung sama baju ganti, Tik. Takutnya hari ini juga hujan seperti kemarin." Itu yang Mama katakan sebelum Aku berangkat ke sekolah. Mama juga mengingatkan agar kami berteduh kalau hujan sangat deras, khawatir longsor katanya. Bisa-bisa pulang setelah Maghrib seperti saat kejadian itu.

Aku bertiga mulai mengayunkan kaki, siap menjemput ilmu. 

"Pit, kamu udah ngerjain PR matematika belum?" Aku bertanya pada Pitri salah satu sahabatku itu. Dengan muka yang menjanjikan ia menjawab, "Syudaah dong, matematika itu soal yang gampang. Keciill." Dia tak berhenti mengomel masalah meremehkan PR matematika sebelum jari tangan Heti mendarat untuk mengacak-acak kepalanya. Aku meng-iyakan kelakuan Heti terhadap Pitri. 

Pitri adalah sahabat terbaikku sejak SD, walaupun ia kadang bikin kesal namun tetap persahabatan kami tak ada alasan untuk dipisahkan. Saat Aku kesal terhadap ia, ku ejek saja namanya. Saya katakan, penulisan nama Pitri itu salah. Yang betul itu adalah Fitri. F lah, masa P. Fitri artinya suci, bersih dari segala dosa dan kesalahan. Nah, kalau Pitri artinya apa coba? Ppppitriii. Wkwkk. Yang ada kamu itu ngeselin, banyak salahnya. Hahaa. Itulah candaan yang suka Aku ungkapkan saat si Pitri ini emang bikin ngeselin. Dan ternyata berhasil, jiwa ngeselinnya jadi berkurang. Mukanya cemberut dan memerah kesal. Mungkin, ia berpikir ada benarnya juga apa yang Aku katakan kepadanya. Tapi ya itu hanya sebatas candaan, tidak memutuskan persahabatan kita. Siapa lagi yang bisa mencairkan suasana selain ia saat Aku sedih? Seorang Pitri-lah yang memiliki jiwa periang, seperti tanpa ada beban. Aku menyanyanginya, sampai detik ini.

Heti? Ia adalah sahabat terbaikku juga selain Pitri. Hobinya main Volly. Sifatnya juga periang, tapi tak seheboh si Pitri. Ada hal yang sangat lucu yang pernah ia alami, yang membuat kami tertawa terpingkal-pingkal. Suatu saat di sekolah kami ada acara pekan olahraga dan kreasi seni atau biasa disebut dengan POKSI. Regina, perwakilan kelas kami menjadi peserta karaoke dangdut. Sialnya, pada saat itu ia tidak hadir. Katanya ikut Ayahnya ke Jakarta untuk menjemput bibinya yang pulang dari Arab Saudi. Saat kelas kami dipanggil oleh panitia, otomatis tidak ada yang maju.

“Jika dalam hitungan sepuluh tidak ada perwakilan, maka kelas ini akan mendapatkan sanksi, dan juga ...”. Belum juga pembawa acara menyelesaikan pembicaraannya, tiba-tiba ada yang berteriak.

“Ada Kak, perwakilannya adalah Heti.” Sontak, semua orang yang hadir di ruangan tersebut menyebut nama Heti.

“Heti... Hetii ... Hetiii...”

Dan suasana menjadi lebih heboh lagi, saat ada yang berteriak, “Ayo Heti Koes Endang kamu pasti bisa.” Semua orang tertawa.

Dan benar saja, Heti seorang yang ahli Volly Ball naik panggung dan memegang mikrophone tanpa ragu. Lalu, ia membawakan lagu Berdiri Bulu Romaku.

Apakah, ia benar-benar menyanyikan lagu tersebut bak penyanyi aslinya? Sayangnya tidak, suaranya terlalu cempreng membuat para juri ikut tertawa terpingkal-pingkal.  Bahkan, ada yang sampai ngompol di celana sebab melihat si Heti terpeleset karena kabel mikropone tersangkut di kakinya.

Dasar si Heti, tingkahnya aneh-aneh saja. Kalau tidak sanggup menyanyi, ya jangan maju.

Tanpa disadari, kami bertiga sudah sampai pada pertigaan jalan. Setengah jam lebih kami sudah berjalan. Jalan menuju sekolah kami adalah ke arah kiri. Jika ke arah kanan itu adalah menuju kampung Cisintok. Memang apabila jalan bersama itu rasanya lebih cepat, karena ada teman mengobrol. Kalau saat sendiri, ya jangan ditanya. Lelahnya minta ampun, keringat mengucur lebih cepat apalagi pada cuaca panas. Kebetulan sekarang ini, sedang musim hujan. Makanya kami mengenakan celana training panjang. Rok seragam baru akan dipakai saat sudah tiba di sekolah. Guru piket kami sudah memakluminya, karena hanya kami-lah yang ke sekolah jalan kaki yang jaraknya sangat jauh. 

Tak perlu berjalan setengah jam, setelah melewati kampung Citeureup kami tiba pada jembatan penghubung kedua desa. Inilah jembatan paling megah di kampungku, Jembatan Cipandak. Ya, jembatan ini adalah jembatan yang putus dalam mimpiku semalam. Kedua sahabatku mengejekku sepanjang perjalanan, gegara Aku cerita kepada mereka kalau tadi malam Aku terguling dari tempat tidur. 

"Pengen banget jadi reporter TV, sampai-sampai harus guling-guling dari tidur. Aduh, Tika kamu ada-ada aja." Mereka menertawaiku. 

Betul, cita-citaku ingin jadi reporter TV terkenal. Aku ingin meliput setiap sudut kampung Pasagi, tempat kelahiranku. Agar semua orang tahu bahwa kampung kami sangat indah. Kampung yang sederhana, tapi memiliki panorama alam yang luar biasa. Aku berharap suatu saat nanti, kampungku menjadi pusat pariwisata alam yang megah dan keren Dengan begitu, perekonomian masyarakat akan terbantu. Entah ada hubungannya atau tidak, yang pasti Aku ingin menjadi seorang reporter TV. 

Kami bertiga istirahat sejenak setibanya di jembatan. Aku menghirup udara pagi hari yang sangat sejuk ini. Pitri sudah sampai mendahului kami, ia berlari-lari kecil sebab ia ingin cepat duduk istirahat di batu besar kesayangannya Sedangkan Heti mengambil handphone jadul miliknya. Lalu sesekali mengambil gambar alias selfi. Ia otak-atik hasil memotretnya agar lebih ciamik. Namun apalah daya, sekeren apapun alamnya kalau handphone-nya jadul, ya tetap burem aja.

Aku senyum saja yang melihat kelakuan sahabatku yang satu ini. 

Setelah dirasa keringat sudah mengering kami melanjutkan perjalanan lagi. Dan inilah perjuangan sebenarnya, yakni jalan menanjak. Di kanan dan kiri jalan, banyak sekali tumbuhan paku. Kalau kata guru Biologi Aku, disebut Pteridophyta. Yaitu kelompok paku-pakuan. Mulai dari paku yang kecil dapat dimakan, hingga paku tiang yang ukurannya besar tampak berjejer rapi seakan-akan ada orang yang menanamnya dengan sengaja. Kehadirannya sangat memberikan kontribusi yang sangat besar karena memberikan udara segar secara gratis. Tak perlu bayar.

Itulah kata-kata yang saya ingat dari guru Biologi saat Aku belajar di kelas sepuluh semester genap. Dari sinilah aku mulai ada ketertarikan dengan pelajaran Biologi, kita bisa banyak belajar dari alam. 

Kalian jangan menganggap bahwa jalanan yang kami lalui adalah jalan beraspal. Tidak. Sama sekali tidak. Jalan yang kami lalui dari tadi adalah jalanan berbatu. Dan sebagian berlumut karena saking lembapnya. Kalian yang tinggal di kota, tak akan merasakan bagaimana kejamnya batu jalanan saat kami injak. 

Dan bayangkan, kami menikmatinya setiap hari. Demi menggapai cita-cita kami. Berangkat sekolah pukul 05.30 pagi bukan sesuatu yang aneh. Bisa jadi, kebanyakan dari usia sekolah, jam segitu masih nyaman di tempat tidurnya. Lah, berbeda dengan kami yang sudah siap segalanya. Kami sangat siap menghadapi setiap teka-teki hidup kami. Setiap hari. 

Apakah kami hanya bertiga? Sebetulnya tidak. Banyak yang juga sekolah dari kampung kami, walaupun masih banyak yang putus sekolahnya. Tapi, hanya kami bertigalah yang ke sekolah dengan jalan kaki. Maklum, keluarga kami sederhana. 

Saat Aku hendak membayangkan hal lainnya, tiba-tiba suara klakson dari sebuah motor mengagetkanku. Tepatnya kami bertiga. Jelas, ia adalah Bangbang teman sekelas kami. 

Aku tersipu malu saat ia tersenyum kepadaku. Padahal jelas-jelas, Aku berjalan tidak seorang diri melainkan bersama dengan kedua sahabatku, Pitri dan Heti. Aku mengusap dahi, sambil membuang jauh-jauh pikiranku. 

***

(Bersambung ke Part 2) 

Tulisan ini telah dipublish pada web Lentera Mahardika (menulis.kcd6.net) dengan judul yang sama.

Post a Comment for "Cerpen Cinta dan Mimpi Dari Tanah Pasagi Part 1"